PENANAMAN BUDI PEKERTI
TERHADAP PERKEMBANGAN PERILAKU ANAK
I. Pendahuluan
Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia menurut data UNDP menunjukkan, dari 174 negara Indonesia ada pada posisi kurang menggembirakan yaitu peringkat 109 (data tahun 2000).
Bila kita memperhatikan visi pendidikan yang dirumuskan UNESCO, maka dapat diketahui bahwa pendidikan adalah mendidik anak untuk belajar berpikir, belajar hidup, belajar menjadi diri sendiri.
Banyak orang menilai kurikulum pendidikan di Indonesia dirancang dengan sangat pasat. Kurikulum yang padat dan melelahkan justru akan membunuh kreativitas seorang anak.
Interaksi global yang didukung oleh kecanggihan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi juga telah menimbulkan berbagai dampak negative, terutama dehumanisasi kehidupan dan dekadenisasi moral. Sikap-sikap agresif destruktif dalam masyarakat telah tumbuh sampai pada tingkat memprihatinkan. Berbagai peristiwa telah sering tejadi terutama di kota-kota besar seperti tawuran antar siswa, penyalahgunaan narkoba, pelecehan seksual.
Pada sisi lain dunia pendidikan kita, sistem penyelenggaraaannya yang berlangsung selama ini cenderung sarat dengan kepentingan politisasi, ideology dan dehumanisasi. Hal ini terjadi pada ketiga komponen penyelenggara pendidikan, yaitu pemerintah (sekolah), masyarakat, dan keluarga. Meskipun pihak pemerintah terlihat yang paling dominan.
Bertolak dari situasi tersebut di atas, kini pendidikan budi pekerti tampaknya menjadi salah satu wahana alternatif pemecahan, dan menjadi fenomena aktual. Pada berbagai kanca percaturan dalam upaya menyiapkan generasi muda Indonesia sebagai summer daya di masa depan.
Landasan Pelaksanaan :
1. Tujuan Pendidikan Nasional
Dalam UU Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 4 disebutkan :
Tujuan Pendidikan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan Manusia Indonesia seutuhnya yaitu Manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki Pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kabangsaan.
2. SK Dirjen Dikdasmen Nomor 64/c/Kep/PP/2000. tentang perubahan atas Keputusan Dirjen Dikdasmen Nomor 37/c/Kep/PP/2000 tentang pedoman Pelaksanaan EBTA.
Dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) berbunyi sebagai berikut :
(1) Penentuan siswa yang dinyatakan tamat belajar dilakukan oleh sekolah penyelenggara dalam suatu rapat dewan guru dengan mempertimbangkan nilai-nilai rapor, EBTANAS serta sikap/perilaku/budi pekerti siswa yang berasangkutan.
Sesuai dengan SK tersebut, maka pendidikan budi pekerti perlu dilaksanakan di sekolah dan berpengaruh terhadap keberhasilan belajar siswa.
II. Pengembangan Pendidikan Budi Pekerti
A. Arti Budi Pekerti
Budi pekerti merupakan masalah yang pelik, bahkan sering dianggap sebagai sesuatu yang abstrak. Sesungguhnya pengertian budi pekerti yang paling hakiki adalah perilaku. Menurut Edi Sedyawati (1997), sikap dan perilaku budi pekerti mengandung lima jangkauan yaitu :
1. Sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan Tuhan.
Setiap manusia Indonesia harus kenal, ingat berdoa dan bertawakal kepada Tuhannya. Dalam hal ini proses pembentukan budi pekerti akan terjadi berdasarkan keyakinan keagamaan.
2. Sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan diri sendiri.
Setiap manusia Indonesia harus mempunyai jati diri. Dengan jati diri seseorang akan mampu menghargai dirinya sendiri karena ia mempunyai konsep diri yang positif.
3. Sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan keluarga.
Seseorang tidak mungkin hidup tanpa lingkungan sosial yang terdekat yang mendukung perkembangannya, yaitu keluarga. Untuk itu diperlukan suatu penyesuaian diri antara lain nilai yang diyakini dengan nilai yang berlaku di dalam keluarga.
4. Sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan masyarakat dan bangsa.
Sikap dan perilaku ini merupakan sikap penyesuaian diri yang diperlukan terhadap lingkungan yang lebih luas, tempat ia dapat lebih mengekspresikan dirinya secara lebih luas setelah ia dewasa.
5. Sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan alam sekitar.
Seseorang tidak mungkin bertahan hidup tanpa ada dukungan lingkungan yang sesuai, serasi dan tepat seperti yang dibutuhkannya. Untuk itulah terdapat aturan-aturan yang harus dipatuhi demi menjaga kelestarian dan keserasian antara hubungan manusia dan alam sekitarnya.
Tiga komponen yang tidak dapat terpisahkan dalam konsep yang terkandung dalam budi pekerti yaitu nilai, moralitas, dan tradisi (Linda & Richard Eyre, 1999).
- Nilai adalah standar perbuatan dan sikap yang menentukan siapa kita, bagaimana kita hidup dan bagaimana kita memperlakukan orang lain.
- Moralitas adalah perilaku yang diyakini, Banyak orang sebagian benar dan sudah terbukti tidak menyusahkan orang lain, bahkan sebaliknya.
- Tradisi adalah sesuatu yang teruji oleh waktu, sesuatu yang telah lama tetap tidak ketinggalan zaman.
B. Penanaman Pendidikan Budi Pekerti
Dalam menanamkan pendidikan budi pekerti kita harus mengajarkan tentang nilai kepada anak didik kita karena dengan mengajarkan hal tersebut adalah merupakan amal yang paling nyata yang dapat kita perbuat untuk kebahagian kehidupan mereka. Kita memang memberikan kebebasan kepada anak didik kita mempelajari hubungan antara hidup berdasarkan nilai dan kebahagian hidup pribadi dengan cara coba-coba, tetapi kita hidup di dunia ini tidak cukup lama untuk mempelajari semuanya, mengambil inti sari hubungan antara nilai dan kebahagian. Oleh sebab itu maka merupakan tugas kita sebagai orang tua, anggota masyarakat dan sekaligus pendidik untuk mewariskan nilai-nilai yang telah kita hayati serta kita amalkan.
Warisan pendidikan budi pekerti ini tidak hanya dilakukan di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah saja tetapi juga di lingkungan masyarakat dimana anak didik kita bersosialisasi. Ketiga lingkungan ini harus saling mengisi, bekerja sama secara proporsional dan harmonis.
III. Implementasi Pendidikan Budi Pekerti
A. Pendidikan Budi Pekerti di Lingkungan Keluarga.
Pendidikan yang pertama kali diperoleh anak adalah pendidikan langsung dari orang tua. Sehingga orang tua harus mempunyai kepedulian terhadap sistem nilai di masyarakat, mereka harus dan wajib merasakan kebutuhan untuk membentuk suatu sistem nilai, khusunya sewaktu membesarkan anak, serta wajib membantu mengembangkan kepribadian yang tangguh agar dapat membantu mereka terhindar dari pengaruh0pengaruh negatif baik dari teman pergaulan, peradaban, maupun dari masyarakat sendiri.
Anak-anak akan tumbuh dan mungkin sekali mengembangkan nilai-nilai yang berbeda dengan yang ditanamkan oleh orang tua, tetapi paling tidak mereka akan bertindak dengan kesadaran dana mengunakan nilai-nilai yang kita tanamkan sebagai pembanding. Dalam era yang sudah sedemikian maju serta teknologi yang semakin canggih apabila anak tumbuh tanpa ada arahan dan bimbingan serta sesuatu yang positif yang diajarkan maka mereka akan tumbuh dan dewasa tanpa arah dan tujuan.
Ada salah satu prinsip yang dianut oleh orang tua permisif yaitu gagasan untuk menghindari pengajaran moral kepada anak-anak sampai mereka cukup tua untuk memilih sistem mereka sendiri prinsip yang demikian ternyata dapat melahirkan generasi muda yang cukup meresahkan dan meraih rekor tinggi dalam kelangsungan hidupnya seperti penyalahgunaan narkoba, keluarga yang berantakan serta Banyak kasus bunuh diri karena keputusasaan. Mengapa hal yang demikian bisa terjadi ini karena memaksanakan anak-anak mencari sendiri nilai-nilai tersebut sehingga dapat diibaratkan menaruh anak dalam perahu tanpa kayuh dan tali disungai deras berjeram dalam, dimana orang tua pun banyak yang tenggelam (Linda & Richard Eyre, 1999).
Dalam kehidupan sekarang ini, hidup seakan-akan lebih berurusan dengan mencari dan mendapatkan sesuatu. Padahal yang seharusnya yang terkandung dalam nilai bermasyarakat adalah menjadi dan memberi. Jadi untuk anak-anak harus di didik untuk menunjukkan siapa dirinya (values of being atau nilai-nilai nurani) dan tidak memberi (values of giving atau nilai-nilai memberi).
Nilai-nilai nurani adalah kejujuran, keberanian, cinta damai, keandalan diri dan potensi, disiplin diri dan tahu batas kemurnian dan kesucian. Bermula dengan berkembangnya kualitas atau sikap dalam diri kita yang menentukan perilaku serta cara kita memperlakukan orang lain, maka nilai tersebut disebut nilai-nilai nurani.
Nilai-nilai memberi adalah setia dan dapat dipercaya, hormat, cinta dan kasih saying, peka dan tidak egois, baik hati dan ramah, adil dan murah hati. Disebut nilai-nilai memberi karena bermula ketika memberi kepada orang lain dan selanjutnya ini berpengaruh terhadap siapa kita (Linda & Richard Eyre, 1999: xxvi).
B. Pendidikan Budi pekerti di Lingkungan Sekolah.
Pendidikan budi pekerti tidak dijadikan salah satu mata pelajaran tetapi diintegrasikan ke mata pelajaran yang diajarkan di sekolah untuk menghindari penekanan yang berlebihan pada aspek kognitif. Mengapa moralitas tidak dijadikan salah satu mata pelajaran? Hal ini disebabkan apa yang sudah diajarkan orang tua di rumah baik hal yang positif maupun negatif dapat lebih berpengaruh pada anak-anak dari pada diajarkan di sekolah atau lembaga-lembaga lain. Kita melihat waktu anak berada di sekolah hanya beberapa jam saja sedangkan anak berada di lingkungan orang tua lebih lama sehingga anak mempunyai potensi besar untuk terpengaruh dengan apa yang telah dilihat dalam keseharian.
Keluarga merupakan lembaga yang paling dasar dan orang tua mempunyai tanggungjawab yang mendasar. Tetapi sebagian orang tua masih banyak yang melakukan kesalahan dalam bertindak, salah satu contoh adalah orang tua bertindak seperti kontraktor yang akan membangun sebuah rumah tidak secara langsung mengawasi dan mengatur tetapi memberi tugas kepada tukang kayu, tukang batu, tukang listrik, dan sebagainya. Sehingga banyak orang tua yang menumpukan harapannya kepada guru di sekolah, pembina pramuka, guru agama untuk dapat mewakili mereka membangun moralitas dan sistem nilai pada anak-anak. Adalah sebuah kekeliruan yang besar menganggap sekolah sebagai bengkel yang dapat memperbaiki mesin yang rusak.
Cara/metode terbaik untuk mengajarkan nilai kepada anak-anak termasuk anak didik adalah contoh tentang siapa kita dan apa yang kita berikan. Contohnya adalah selalu menjadi guru yang paling baik, apa yang kita perbuat berdampak positif, lebih jelas dan lebih berpengaruh dari yang kita katakana. Bukan hanya sekedar memberi contoh tetapi harus menjadi contoh. Contoh merupakan guru yang utama dan erat kaitannya dengan hal itu adalah metode-metode pendidikan yang bervariasi melalui cerita, permainan, simulasi dan imajinasi. Untuk anak yang mulai beranjak remaja, kita bisa mengajak mereka berkomunikasi secara dewasa, berdialog tentang nilai dan sebaliknya, diskusi tentang konsep.
C. Pendidikan Budi Pekerti di Lingkungan Masyarakat.
Pendidikan budi pekerti di masyarakat pada dasarnya sama dengan budi pekerti di lingkungan keluarga. Masyarakat dengan keluarga sebetulnya sama, bila keluarga lingkupnya kecil sedangkan masyarakat adalah keluarga besar yang lingkupnya luas. Keduanya mempunyai orang tua yang dijadikan panutan. Kalau dalam keluarga ada orang tua yang dijadikan panutan anak-anaknya maka di masyarakat ada orang tua atau lebih dikenal sebagai tokoh masyarakat yang mempunyai peran yang sama sebagai panutan masyarakat/warganya. Apabila orang tua sudah tidak dapat lagi dijadikan panutan, maka akan goyahlah nilai, moralitas dan tradisi dalam keluarga tersebut. Begitu pula dengan tokoh masyarakat bila sudah tidak dapat dijadikan panutan lagi maka akan goyah pula masyarakat tersebut.
Seperti sudah di contohkan ada gaya orang tua permisif terbukti melahirkan generasi tidak baik dalam kehidupan masa depanya. Demikian pula dengan masyarakat yang permisif juga melahirkan satu generasi dewasa yang berkepribadian ganda. Ibaratnya berjalan dengan dua kaki dengan arah yang berlawanan, satu kaki menapak pada budaya barat yang dianggap sesuai dengan perkembangan jaman sementara kaki sebelah masih menapak pada budaya Timur yang sebenarnya ingin sekali ditinggalkan karena dianggap ketinggalan jaman namun tidak bisa karena mereka masih hidup di tengah masyarakat yang sebagian besar anggotanya masih menjunjung tinggi nilai, moralitas dan tradisi timur yang merupakan bagian dari jati diri
Untuk menciptakan suasana yang kondusif bagi pendidikan budi pekerti maka mutlak perlu dilakukan penegakan nilai, pengukuhan moralitas dan pelestarian tradisi. Yang harus menjadi contoh adalah para tokoh masyarakat para pemimpin formal maupun informal dalam masyarakat tersebut. Jika mereka benar-benar dapat dijadikan contoh dan panutan maka akan tercipta suatu masyarakat yang menjunjung tinggi nilai, moralitas dan tradisi tetapi bila yang terjadi kebalikannya lain di bibir lain perbuatan maka akan tercipta suatu masyarakat yang mengabaikan nilai, moralitas dan tradisi. Jika ini terjadi maka pendidikan budi pekerti hanya akan berhenti sebagai kebijakan tanpa ada impelementasi yang efektif dan bermanfaat.
D. Pendidikan Budi Pekerti melalui Pembinaan Budaya
Pendidikan budi pekerti dapat juga diajarkan melalui pembinaan, Pengembangan dan pemanfaatan kebudayaan daerah. Tujuannya adalah anak didik dapat mengerti dan menjiwai adanya warisan budaya yang luhur yang mengandung nilai-nilai masa lalu yang masih relevan dengan kondisi sekarang, serta dapat mendorong agar perilaku budaya budi pekerti luhur mampu dilaksanakan sebagai pedoman kehidupan sehari-hari.
Budaya lokal sangat perlu disampaikan pada peserta didik terutama di lingkungan sekolah agar tidak mudah terpengaruh dengan budaya dari luar yang Begitu mudah masuk dan mempengaruhi perilaku anak. Sebab budaya local dapat juga digunakan sebagai sarana menanamkan budi pekerti pada anak didik.
Ada 3 (tiga) aspek budaya yang dapat mendukung pendidikan budi pekerti di lingkungan sekolah adalah :
1. Aspek Kesenian.
Kegiatan-kegiatan kesenian yang perlu dilakukan di lingkungan sekolah adalah :
a. Perlunya diajarkan berbagai macam jenis kesenian di luar jam pelajaran sehingga siswa dapat menentukan/memilih jenis kesenian sesuai dengan kemampuannya.
b. Pada jam-jam istirahat perlu diciptakan suasana yang bernuansa seni, misalnya dengan memutarkan kaset lagu-lagu daerah agar siswa secara tidak langsung terbawa suasana.
c. Untuk meningkatkan apresiasi seni peserta didik dapat diajak untuk melihat kegiatan pentas seni.
d. Pada kegiatan akhir tahun diacara perpisahan kelas terakhir dapat diarahkan dengan kegiatan pentas seni di sekolah yang melibatkan siswa dari kelas tujuh sampai kelas sembilan.
2. Aspek Sejarah dan Nilai Tradisional
Kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan aspek sejarah dan nilai tradisional dapat berupa :
a. Ceramah tentang tokoh lokal yang berkaitan dengan sejarah lokal.
b. Lomba penulisan cerita rakyat, atau legenda yang berkaitan dengan daerah sekitar.
c. Penjelasan tentang upacara adat dan bila memungkinkan anak didik diajak menyaksikan langsung upacara tersebut, dan membahas makna implisit dan simboliknya tidak terjadi kekeliruan pemahaman.
3. Aspek Permuseuman dan Kepurbakalaan
Agar peserta didik dapat mengenal masa lalu perlu adanya :
a. Kegiatan Ceramah yang berkaitan dengan museum dari segi fungsi dan manfaat sebagai sarana pendidikan.
b. Mengajak peserta didik berkunjung ke museum, sehingga dapat mengenal dan memahami filosofi yang terkandung pada benda-benda koleksi museum secara langsung atau lebih dekat.
c. Ceramah tentang keberadaan candi dan relief yang terdapat pada candi sehingga peserta didik akan memahami nilai-nilai moral yang terkandung pada relief tersebut.
d. Mengunjungi candi-candi tersebut agar peserta didik dapat mencocokkan isi Ceramah yang pernah diterimanya dengan relief candi yang dilihat.
E. Evaluasi Pendidikan Budi Pekerti
Evaluasi atau penilaian budi pekerti dilaksanakan dalam bentuk yang terukur (measurable), sehingga hasilnya dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan terhadap keberhasilan peserta didik dalam kenaikan kelas/kelulusan. Pelaksanaan penilaian pendidikan budi pekerti ada beberapa aspek yang terkait antara lain: peserta didik, penilai, waktu penilaian dan sistem penilaian.
1. Peserta Didik
Penilaian pendidikan budi pekerti dilaksanakan bagi peserta didik pada tahun pelajaran yang berasangkutan terdaftar pada suatu sekolah dan telah menyatakan secara tertulis akan mematuhi semua ketentuan dan percaturan yang berlaku di sekolah tersebut.
2. Penilai.
Penilai adalah Tim yang ditetapkan oleh sekolah yang terdiri dari :
a. Kepala/Wakil Kepala Sekolah.
b. Wali Kelas.
c. Pembina OSIS.
d. Guru dan Tenaga Kependidikan Lainnya.
3. Waktu Penilaian.
Waktu penilaian budi pekerti adalah selama peserta didik berada di sekolah baik pada kegiatan intrakurikuler, ekstrakurikuler maupun kokurikuler. Rentang waktu penilaian adalah dalam periodesasi semester.
4. Sistem Penilaian.
Budi pekerti peserta didik yang dinilai meliputi semua aspek yang tercermin dalam sikap, perilaku dan moral siswa.
Penetapan nilai budi pekerti dilakukan melalui pengamatan sehari-hari dan berdasarkan catatan individu (individual record). Penilaian dilakukan dengan pola kualitatif dengan kategori sebagai berikut :
Nilai A = Baik Sekali
B = Baik
C = Cukup
Nilai pendidikan budi pekerti dapat dinyatakan naik kelas/lulus, peserta didik minimal harus mendapatkan nilai B untuk rata-rata semua aspek.
IV. Kesimpulan
Dari berbagai macam pernyataan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Metode terbaik untuk melaksanakan pendidikan budi pekerti kepada anak-anak termasuk peserta didik adalah contoh tentang siapa kita dan yang kita berikan.
2. Lingkungan sekolah disamping tempat untuk pendidikan keilmuan juga dapat menjadi tempat untuk pendidikan budi pekerti selain lingkungan keluarga.
3. Pendidikan budi pekerti dapat diimplementasikan di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat, serta melalui pembinaan wawasan budaya.
4. Dalam implementasi pendidikan budi pekerti, pemerintah tidak akan menjadikan pendidikan budi pekerti menjadi salah satu mata pelajaran, tetapi mengintegrasikannnya ke dalam mata pelajaran yang telah diajarkan di sekolah.
5. Kebudayaan tradisional yang hidup dan berkembang di masyarakat dapat dipakai sebagai sarana Penanaman budi pekerti yang baik pada anak.
6. Nilai yang dapat diajarkan pada anak termasuk para peserta didik adalah nilai-nilai nurani (values of being) dan nilai-nilai memberi (values of giving).
KEPUSTAKAAN
1. Undang-undang RI No. 2 Tahun 1989.
2. Undang-undang RI No. 5 Tahun 1992.
3. Depdikbud, 1998. Kebijakan Teknis Operasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.
4. Eyre, Linda & Richard, 1999. Mengajarkan Nilai-nilai pada Anak. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
5. Keputusan Direktur Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan & Kebudayaan Nomor 001/F1.IV/LL/98.
6. Sudhrato, 2000. Pengantar Problematika Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah. (Tidak diterbitkan)
7. Yumarma, 2000. Membangkitkan Semangat Budi Pekerti Luhur. (Tidak diterbitkan).
No comments:
Post a Comment